Kamis, 11 Februari 2010

Selamat Hari Jadi

1 Desember
pukul 24:00

Pesan singkat di handphone-ku mulai berdatangan.
"Happy Birthday bla bla bla"
Fine.
Waktu tidur 8 jam ku terganggu karena sms semacam itu. Ya ya ya, ini memang ulang tahun ku. Tapi buatku, perayaan dalam bentuk apapun bukan cara yang tepat menghadapi pertambahan usia yang menandakan suatu tantangan hidup yang lebih keras, tanggung jawab yang lebih berat dan waktu memperbaiki diri yang kian berkurang. Kenapa mereka ucapkan "selamat"?

Hmmm
ngga munafik juga sih,
ada satu ucapan "selamat" dari seseorang yang aku tunggu-tunggu sejak detik pertama hari ulang tahun ku ini datang.
Tapi ya sudah lah,
mungkin dia ngga akan ngucapin di waktu selarut ini.

Pukul 13:00

Aktivitas berjalan sesuai rutinitas. Ucapan selamat dan tagihan traktiran termasuk kedalamnya. Rutinitas tahunan.
Berharap ada semangat baru hari ini.
Tapi lagi-lagi kenyataan ngga berjalan sesuai harapan.
Ucapan selamat yang aku tunggu itu belum juga datang.

Pukul 23:45

Hari ini dipenuhi oleh rasa "menunggu"
Sial.
Keterlaluan kalau sampai dia lupa.
PENGEN T E R I A K !!!!!
Ah, muak!

Tanganku lari meraih secari kertas apapun yang terliaht oleh mata.
Aku butuh menulis untuk meneriakkan suaraku.

" Ayah,
Seharian aku menunggumu mengingat hari jadiku,
hari ini,
tapi Ayah tidak ingat.
Apa ayah juga tidak ingat hari jadi Ibu?
Kenapa Ayah pergi sama wanita itu?
Ayah dengar aku!
Aku muak mencoba tidak memaafkanmu,
Aku bosan berusaha melupakan saat-saat kita menangkap kupu-kupu di halaman belakang rumah mengelilingi air mancur rangkap tiga yang sekarang sudah ditutup lumut
Aku belum bisa berhenti cinta pada Ayah,
Apa ayah sudah bisa? "

Jumat, 20 November 2009

Melukis wajahku di cermin

Tidak terasa, aku melihat ke jendela, ternyata matahari sudah bangun dari istirahatnya semalam. Dan aku, melewatkan malam ini dengan mata terjaga. Semalam ada bintang yang memintaku mendengarkan ceritanya. Sayangnya kelemahanku adalah tidak bisa menolak. Tapi sejujurnya aku benar-benar ikhlas kali ini bias mendengar keluhan-keluhan bintang di hari ke seribu ia bertugas. Toh sudah lama aku tidak berbincang dengan benda alam.
Sayup aku dengar suara kaki menaiki tangga menuju kamarku, sampai akhirnya bunyi kaki itu berhenti di depan kamarku. Dan si pemilik kaki mengetuk pintuku.
Aku memutuskan untuk tidak membiarkan tamuku menunggu lebih lama untuk ku bukakan pintu. Dan ternyata yang datang adalah sahabatku, sahabat dekat, begitu dekat.
Tanpa satu “selamat pagi” atau sekedar “hai”, sahabatku memelukku. Erat. Terlalu erat.
Aku memilih untuk tidak bertanya apapun tentang pelukan ini. Aku membiarkan perasaannya mengalir dalam sambutan pelukku.
Tebakanku benar, tidak lama setelah dia merasa lebih tenang, dengan sendirinya dia menegakkan kepalanya. Kemudian melukis. Melukis wajahnya sendiri.
Warna pertama yang dipilihnya adalah abu-abu. Lalu merah, lau hitam. Ya benar, lukisan itu terlihat tidak menarik karena warnanya. Karena wajahnya.
Aku berusaha meraih tangannya untuk memberi semangat, mungkin itu yang dia butuhkan saat ini. Tapi tidak berhasil. Lukisan di wajahnya belum berubah.
Aku berusaha menyembunyikan kekhawatiranku. Aku berusaha mengabaikan kebingunganku. Aku berusaha. Berusaha mengerti air matanya. Berusaha mendengarkan keluhannya. Keluhan dalam lukisannya.
Aku bilang padanya aku mengerti. Aku bilang padanya aku sudah mengerti. Aku bilang padanya aku benar-benar mengerti. Dan memang hal inilah keahlianku, berbohong padanya. Sahabatku, cermin yang berdiri di depanku.

Jumat, 04 September 2009

"ketika kau lewati bumi tempat ku berdiri, kedua mata ini tak berkedip menatapi pesona indah wajahmu mampu mengalihkan dunia ku.."
Afgan - Wajahmu mengalihkan duniaku

Rambut potongan F4 dengan hiasan kacamata frame kotak hitam sedikit tebal dan lebar ala 'masa kini' membuat 'mas-mas' penyanyi kafe ini sekilas mirip dengan penyanyi asli lagu tadi..
Mungkin tuntutan profesi aja harus dandan mirip artis, hehe
Ada sekitar lima puluh orang yg berada tepat di depan panggung tempat dia bernyanyi (bertugas -red), tapi mungkin yang memperhatikan dia hanya segelintir. Di tempat seperti ini, orang-orang yang datang biasanya berkumpul untuk melupakan penat bersama teman-teman atau teman dadakan (bayaran).
Redupnya cahaya lampu disini menambah nyaman suasana privasi yang semakin basah.
Jauh ceritanya dengan kabarku saat ini. Satu-satunya alasan aku setelah pulang les bahasa asing langsung pergi (cabut) ke tempat ini adalah Gina, my best friend. She called me to come here and i couldn't say no.
Lagipula akhirnya Gina menelpon teman-temanku yang lain untuk juga datang.

Tiba-tiba musik di atas panggung berhenti. Afgan look a like meminta perhatian seluruh pengunjung.
"Malam ini, adalah malam yang indah banget buat gue karena suatu kebanggaan banget bisa hadir di sini mempersembahkan lagu buat Denise yang sedang berulang tahun".
JENG!
Namaku disebut. Sok jaim ah, takut bukan aku yang dimaksud olehnya.
Kemeriahan dimulai ketika Ebem, my lovely smoochy, naik ke atas panggung mempimpin pengunjung lain bersorak.
"Happy birthday to you..
Happy birthday to you.."
Lagu standart ulang tahun itu menghipnotisku.
Aku mulai tersenyum terlalu bahagia menatap Ebem diatas panggung.
Dia belom pernah segila ini.
Sesaat lagu selesai, Ebem memintaku naik ke atas panggung agar ia bisa memberika bunga lili kesukaanku yang sejak tadi ada di balik punggungnya.
"Sayang, please come here.."
dan tepuk tangan mereka bersahut-sahutan.
Masih dengan rasa nggak percaya. He used not to be like this.
Malu-malu mau, aku beranjak dari tempat dudukku menuju dia.
Penonton pun hanyut dalam drama ini.
Setelah sebuket bunga lili berhasil sampai di tanganku,
Aku meraih microfone di dekatku sebagai ucapan terima kasih.
Penuh dengan senyum bahagia aku berucap
"Gue ga nyangka banget ada surprise ini. Apalagi dari laki gue. Selama ini, dia ngga pernah suka ngasih surprise ke gue."
Tatapanku mengeliling ke penjuru-penjuru ruangan ini.
Aku mencoba mengatakan kalimat selanjutnya menghadap ke Ebem di sebelahku.
"Selama tiga tahun kita pacaran, kamu belom pernah kasih aku surprise apa2. Aku pikir aku ga akan pernah dapet itu, karena kamu orangnya cuek banget.
Tapi malem ini,
Kamu bener-bener beda.
Makasi ya sayang.."
Then I drop some tears.
Penonton drama barusan bertepuk riuh. Mendadak kafe ini berubah menjadi panggung teatrikal drama kisah remaja bercinta kasih.
Oops,
ponselku berdering.
"Hallo sayang.. Aku udah mau berangkat jemput kamu nih, siap-siap gih.."
Suara Ebem yang sangat ku hafal barusan menelponku.
Hoamhh,
waktunya bangun dari mimpi indah dan bersiap-siap dijemput di hidup nyata.

Minggu, 30 Agustus 2009

Kepada Pemilik Suara Yang Menggema di Telingaku Saat Semua Musik Terasa Padam

Menemaniku mempelajari tema-tema yang akan dan pasti hadir dalam hidup adalah keahlianmu.
Kemudian menunggu aku mengerti (dengan sendirinya) akan arti sebuah kesalahan menjadi penghargaan tertinggi yang ku nobatkan padamu. Ya, kesetiaan dengan kesabaran.
Seperti tidak percaya kau masih disini selayaknya anugerah oksigen bagi umat manusia,
aku mengagumi semua caramu melindungiku.
Dan,
rangkaian paralel atas maaf mu telah membuatmu membuktikan bahwa:
Pernah berfikir akan ada laki-laki lain yang bisa melebihimu adalah sebuah kebohongan pada diri sendiri.

Tidak ada harga yang bisa ku bayar untuk sebuah pelajaran dalam mencintaimu.
Beling-beling tajam yang pernah membuat kita sama-sama berdarah itu akan menjadikan perjalanan kita semakin fokus pada sesuatu yang memang seharusnya kita jalani sejak lama.
Tebak apa?
Saling percaya.
Percaya bahwa terobsesi padamu adalah pilihan tepat.

Terima kasih banyak atas tempat yang kau sediakan untuk ku menaruh harapan.

Sabtu, 29 Agustus 2009

Here I Come

Jujur,
(kepada Anda saya jujur, meskipun mungkin tidak kenal dan saya juga tidak tahu kenapa harus saya sejujur ini sama Anda. Bahkan terhadap orang tua saya pun belum tentu saya bisa jujur)
Saya sedang merasa saya tidak hebat.
Parahnya, saya sering merasa saya tidak hebat.
Perasaan ini sangat mengganggu aktivitas keseharian saya tentunya, dan sejujurnya (lagi) saya tidak betul-betul ingin merasakan hal ini lagi (bahkan untuk satu detik yang akan datang, saya mohon kepada perasaan itu, pergilah).
Mungkin karena sudah hafal dengan rasa itu sendiri,
saya mulai bosan.
Setelah dipikir-pikir pun, sebenarnya itu hanya masalah yang tidak terlalu besar. Tapi..
Okay, kita mulai pelan-pelan membahas permasalahannya.

Question #1:
Kenapa saya
bisa merasa tidak hebat?

Answer:
Karena saya merasa tidak pernah berhasil melakukan sesuatu. Apapun itu. Seperti tidak pernah tuntas, dan..
Meskipun tuntas, hasilnya tidak se-memuaskan jika orang lain yang mengerjakan.

Question #2:
Kenapa saya tidak pernah tuntas mengerjakan sesuatu? Atau jika tuntas pun hasilnya tidak maksimal?

Answer:
Mungkin karena saya tidak mengembangkan apa yang saya punya secara maksimal. Atau saya tidak punya jiwa konsisten dan daya juang yang tinggi (alasan tambahan - apa gunanya memberi alasan pada diri sendiri? ya sudah terlanjur)
Kalau orang lain (lagi-lagi sambil mengucilkan diri sendiri),
mereka bisa melihat bakat dalam dirinya sendiri dan bisa merubah kelemahan mereka menjadi kelebihan atau
minimal bukan kelemahan lagi bagi mereka.

Question #3:
Kenapa saya tidak bisa seperti mereka (itu)?

Answer:
Karena saya buka mereka.
(Jawaban yang terlalu logis)

Question #4:
Apakah karena saya bukan mereka lalu saya tidak hebat?

Answer:
...

Harusnya sih jawabannya "tidak".
Hmmm..
Mungkin ini titik awalnya.
Saya merasa saya tidak pantas untuk jadi hebat karena saya bukan mereka.
Idealnya,
siapapun berhak menjadi hebat.
Terus saya apa kabar?
...

(Mendadak inisiatif)
Saya BISA!
Saya akan BISA!
Saya pasti BISA!

Nah,
ini adalah metode paling munafik bagi saya.
Kata-kata itu belum cukup merubah cara pandang saya.

Berhubung solusinya belum ada,
hipotesis sementara:
"Meskipun bukan saya yang menang, tapi bukan saya yang kalah.
Meskipun saya tidak hebat seperti mereka, saya berani mencoba untuk menjadi hebat."